Tuesday, July 14, 2015

Raja yang Mengenal Filosofi

Raja yang Mengenal Filosofi

Raja, inilah Raja, Seorang Raja Diraja, khalifatullah ing tanah Jawa. Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun di Ngasem, merupakan putra dari Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Dilahirkan di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912. Bertahta di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 18 Maret 1940, dengan gelar 'Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.'

Tanpa banyak cakap, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian belakang kendaraannya.

Beliau merupakan satu diantara banyak pemimpin yang selalu melihat kebawah dan memerhatikan rakyatnya. Jika menjadi pemimpin, maka akan sangat mudah dan akan banyak godaan untuk menjadi lalim. Namun tidak begitu dengan Raja Jawa ini, Beliau selalu melihat dan mengayomu yang bawah. Pepatah jawa mengatakan "Adigang, Adigung, Adiguna." (mentang-mentang kaya, mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kuat), begitulah keadaan pemimpin Indonesia saat ini. Namun, Raja Jawa ini tidak begitu, mengerti betul pepatah diatas, beliau ingin dirinya tidak seperti pepetah tersebut, tidak ingin seperti kijang, gajah, dan ular. Beliau memiliki prinsip "Andhap asor" yang artinya tetap merendah tanpa mengurangi wibawa.

Beliaulah Raja sebenarnya yang suka blusukan. Tidak seperti yang sekarang ini, yang inginnya selalu diekspos, satu Nusa Antara tahu semua. Sri Sultan Hamengkubuwana sering jalan-jalan sendiri di sudut kota Jogja tanpa pengawal, bahkan kadang tidak ada yang mengetahui siapa dirinya. Ada banyak cerita keteladanan dari diri Beliau, namun satu yang paling unik adalah cerita dirinya dengan seorang wanita tua penjual beras.

Suatu hari pulang blusukan sendirian, di Desa Godean, Land Rover-nya dihentikan oleh seorang penjual beras yang sudah sepuh. Ia lantas menghentikan jip buatan Inggris itu ke pinggir dan segera turun. Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, perempuan tua itu berseru: � Niki, karung-karung beras niki diunggahake!� Rupanya, sang penjual beras yang tak mengenal wajah Sri Sultan mengira raja Jawa itu sebagai sopir angkutan beras yang biasa membawa para pedagang ke Pasar Kranggan di wilayah kota Yogyakarta.

Tanpa banyak cakap, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian belakang kendaraannya. Sementara itu sang penjual beras tanpa meminta izin menaiki jip dan duduk di samping Sri Sultan. Sepanjang jalan, mereka ngobrol dengan akrabnya hingga sampai  di tujuan. Tanpa diperintah, Sri Sultan pun keluar dari mobil dan dengan tangkas menurunkan karung-karung tersebut.

Begitu selesai, penjual beras itu lantas merogoh kemben usangnya dan mengeluarkan uang lembaran dan disodorkan ke Sri Sultan. Lelaki ramah itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Disikapi seperti itu, alih-alih berterimakasih, sang penjual beras malah ngomel-ngomel, dikiranya �sang sopir� tidak mau menerima �ongkos� karena jumlah uangnya yang kurang. Dengan sabar, Sri Sultan mengatakan,� Pun boten sisah, Mbakyu.�  Artinya: tidak usah bayar, Mbak. Tanpa banyak bicara, ia lantas memacu Land Rover-nya ke arah keraton.

E, eeee�Diwenehi duwit kok nampik. Sumengkean temen ta sopir kuwi,� gerutu penjual beras itu. Ya, siapa yang tak berkata demikian di zaman susah itu jika  ada sopir  angkutan yang begitu belagu menampik duit.

Kendaraan Sri Sultan sudah berlalu, namun perempuan itu tetap saja mengomel. Tanpa disadarinya  sudah lama perilakunya disaksikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Seorang polisi lantas menghampiri penjual beras itu dan memberitahu jika �sopir� yang baru diomelinya itu adalah Ngarsa Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwana IX).

Bukan main kagetnya penjual beras itu. Bahkan saking kagetnya, ia lantas terhuyung-huyung dan jatuh pingsan hingga dilarikan ke RS. Bethesda. Kejadian itu lantas berkembang dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Sri Sultan. Demi mendengar si penjual beras yang mengomelinya itu masuk rumah sakit, raja Jawa itu bergegas datang untuk menengok salah satu rakyat yang selalu dijadikannya sebagai raja di hatinya.

Sungguh sangat bagus sikap Raja Jawa ini, patut ditiru oleh semua orang, terutama para pemimpin. Sangat mulia, sudah sewajarnya jika pada saat Beliau wafat rakyat se-Yogyakarta pada bersedih hati. Dan ketika kereta kencana yang membawa jasad Beliau melewati kerumunan orang yang bersedih tersebut, suasananya tiba-tiba berubah menjadi hening, sebagai tanda penghormatan. Hanya terdengar suara dari tapak kaki kuda yang menarik kereta kencana. Sungguh mulia!

19 Februari 2015
@SutetSeru.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment